Bersama Dalam Sendiri (Cerpen; Bagian 1)


Sumber: iStock
        “Sendiri... hmmm... banyak orang menyebutkan bahwa keadaan di mana diri tiada berteman. Kebanyakan insan sangat membencinya, apalagi kalau sudah mengenai urusan hati maka sendiri akan berubah nama menjadi enam kata yang menjadi momok para manusia, yaitu j-o-m-b-l-o.” Dee tersenyum kecut.
“Dee, kamu tidak jenuh hampir satu jam penuh di situ terus??”
Yang ditanya tidak segera menyahut, hanya sekedar menoleh dan tersenyum pada ibunya, hingga ia pergi, karena yang ditanya hanya tersenyum seperti biasanya, meski ia paham sifat anaknya yang hanya akan tersenyum ketika ditanya seperti itu di tempat yang sama. Namun, hatinya selalu tergelitik ingin bertanya kenapa ia suka sekali berada di antara hamparan kegelapan bersama taburan bintang dan hangat senyum rembulan. Tetapi, rasa penasarannya akan terhenti begitu saja ketika melihat senyum anaknya yang sepertinya telah menjawab tak hanya satu pertanyaan mengenai putrinya namun bahkan ribuan. Ya… senyum itu sangat dalam, seakan menelusup dalam kantung matanya yang langsung membuat bibirnya terkatup rapat.
“Dee, tidak akan pernah jenuh bu, jahat nian diriku bu bila membencinya. Bagaimana mungkin Dee membenci sebuah keadaan yang setia menemani Dee sejak dulu bahkan jauh sebelum aku tau aku adalah sebagian hidupmu.”, Jawab Dee dalam hatinya sambil masih tersenyum.
       Berada di bawah taburan bebintang membuat Dee merasa tenang melebihi tenangnya berada dalam pelukan hangat ibunya. Ah... sejujurnya Dee tak terlalu ingat sehangat apa pelukan ibunya, setenang apa dan bagaimana ia tak paham mengenai itu. Bukan Dee tak tau diri atas pengorbanan seseorang yang melahirkannya itu, namun Dee tau bahwa ia adalah ibunya yang baru seumur jagung; belum lama ini. Dee hanya paham elusan seorang ibu yang ternyata ialah orang lain untuk dirinya. Yang Dee tau kekar bahu orang yang dipanggilnya bapak sebelum ia tahu siapa ibunya dan siapa ayahnya. Ialah orang yang menggendongnya menuju dokter saat sakit merenggut tawa seorang Dee. Dee hanya paham tangis khawatir simboknya yang melihat tubuhnya dalam balutan pil-pil obat pengurang rasa sakitnya. Mereka yang pernah hinggap dalam ingatan Dee sebagai orangtua Dee.
       Namun, waktu menjawab lain akan pertanyaan orang-orang yang seakan memaksa Dee menjawab dengan getir sekarang. Dee ingin nama bapak dan simboknya itulah yang menjadi orang tuanya namun sekeras apapun ia menolak tetap tak berguna, karena dalam pencatatan sipil akta kelahirannya nama bapak dan simboknya memang bukan orang tuanya. Hal ini tidak lantas membuat Dee membenci kedua orang tuanya, Dee selalu menyayangi siapapun yang berbuat baik padanya sekalipun itu orang baru dalam hidupnya. Dee tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang anak yakni berbakti kepada orang tua, meski Dee agak canggung ketika harus menerima kenyataan harus menjadi anak pertama dengan seorang adik yang bandelnya minta ampun. Adik laki-laki yang sering meneriaki tentang dirinya yang dulu tiada di keluarganya namun tiba-tiba ada disini, hal ini adalah satu alasan Dee sering berada di luar menikmati suasana malam yang syahdu. Memang hanya teriakan saja, tetapi setiap terlontar kata-kata dari adiknya mampu mengembalikan ingatan tentang bapak dan simboknya beserta rangkaian cerita di sana. Di balik karena perkataan adiknya yang menjadi alasan, ia sering berteman bintang adalah ia ingin menitipkan salam rindunya pada sosok kakak yang pernah ia punya yang kini ia entah berada di mana. Di sini, peran Dee sebagai anak pertama memang sangat berbanding terbaliik dengan saat bersama simbok. Di sana Dee merasakan bagaimana mempunyai seorang kakak yang sangat pengertian padanya, selalu menjadi bahu tempat Dee bersandar saat Dee lunglai tak bertenaga. Kini, yang bisa Dee lakukan hanya memimpikannya bagaimanapun ia memelas tak akan ada lagi seorang kakak dalam hidupnya, yang ia punya hanya adik menjengkelkan itu. Adik yang mengolok-oloknya dengan keberadaannya. Dengan langkah malas, Dee meninggalkan balkon, meninggalkan kursi kesayangannya, melambai perlahan pada bintang yang entah sudah berapa kali berganti dan berubah posisi. Dee dengan segera membuang angan angan akan adiknya sebelum semuanya merambah ke seluruh sel otaknya dan kemudian membuatnya termenung tentang masa kecilnya.
----҉----
“Aku Dee simbok, ya Dee mu telah sampai di sini ,kota impianku sejak kecil dengan selamat tanpa luka, hanya sedikit tergores di hati tentang masa lalu. Namun, jangan khawatir, aku tetap berdiri kuat dan akan kusimpan rapat cerita-cerita haru hidupku”. Pandangannya tak berkedip sedikitpun dari bangunan megah berwarna hijau kampus impiannya. Syukur terlantun dalam hatinya menyadari telah sejauh ini ia melangkah dan dalam langkahnya selalu Tuhan sertakan sebuah gugusan senyum untuk dirinya yang begitu indah. Dee duduk dengan menunduk di atas tumpukan karung padi; diam matanya terpejam takut-takut kalau ia membuka mata dan mulutnya, air matanya tak kan bisa dibendung lagi, ia tak ingin mereka tahu ia sedang menahan tangis, jadi cukup diam hingga waktu-waktu ini usai. Waktu berjalan sangat lamban, namun bukan berarti malam ini akan jadi selamanya dan tak akan berpenghujung.
“Jangan menangis nduk, kenapa engkau menangis?” Tiba-tiba suara parau itu keluar dari bibir tua simbok.
Dee hanya bisa menatap dalam wanita tua di depannya sambil terus menangis, terngiang di telinganya sesak suara simboknya barusan. Imaji suara simboknya terhenti ketika simboknya kembali berujar padanya.
“Kalau aku tiada nanti, ketika nyawa tiada berada dalam ruhku, kamu mau sama siapa nduk?”
“Dee mau ikut simbok”.
Jawaban Dee begitu singkat, jawaban seorang gadis 10 tahun yang masih lugu namun sudah banyak dicekoki pil pahit kehidupan. Jawaban yang mampu membuat simbok menangis juga dan memeluk Dee begitu erat. Pertengkaran antara simbok dan wanita yang berkata ialah orang yang melahirkan Dee beberapa jam yang lalu masih menyisakan sesak seorang simbok dan Dee yang dalam. Dee kecewa karena mengapa orang itu mengaku ibunya dan berbuat kasar padanya.
“Pokoknya aku tidak mau tahu, Dee harus pindah sekolah dan sekolah bersama Dani di sekolah yang sama supaya aku tidak kerepotan karena mengurusnya”.
“Tapi... Dee tidak mau dan ingin tetap di sini, ini sudah aku bicarakan sehari yang lalu dengannya biarlah dia di sini dahulu.” pinta simbok dengan memelas.
“Terserah, kau urus saja bocah sial ini dan jika Dee ingin di sini maka kau harus membiayai sekolahnya sendiri.”
“Baiklah, tak masalah bagiku, asal Dee disini.”
Wanita itu amat menyeramkan baginya dan jika benar ia ibunya, maka Dee tak akan mau untuk ikut ibunya itu. Padahal permulaannya hanya masalah mengenai Dee yang minta dibelikan sepatu yang baru karena sepatunya sudah tak layak pakai. Sering kakinya terluka, terkena benda tajam saat sekolah. Karena simbok tak mempunyai uang, simbok meminta pada wanita itu. Dee tahu percakapan antara wanita itu dan simbok di samping sekolah kemarin.
“Nduk, sepatunya besok ya... simbok belikan kalau sudah ada uang.” kata simbok sambil membelai rambut Dee, kebiasaan yang sering dilakukannya untuk membuat Dee segera tidur.
“Iya, nanti Dee pakai sepatu itu saja, masih bisa dipakai kok.”
“Tapi nanti genduk diejek teman-teman lagi?”
“Ga kok, Dee ga apa-apa asal masih sekolah di sini sama simbok.” jawabnya dengan lugu setengah terlelap. Tak lama setelah itu, Dee tertidur dengan air mata menggenang di pipinya.
Simbok hafal betul, kejadian ini pasti terbawa sampai ke alam mimpinya dan membuat Dee menangis. Ditatapnya Dee penuh luka. Jabang bayi yang ia terima dari wanita yang memakinya maghrib tadi di bawah hujan deras sepuluh tahun silam dengan alasan wanita itu kerepotan mengurus dua anak kembarnya maka yang satu ia titipkan simbok. Selain itu, sejak lahirnya Dee seperti membawa sebuah kesialan seperti kembarannya Dani selalu sakit apabila Dee berada serumah dengannya. Sekarang Dee telah tumbuh di bawah kasih sayangnya, bagaimanapun Dee sudah seperti anaknya sendiri. Berat untuk melepaskan Dee apalagi mengingat ibunya yang selalu memarahi Dee saat ibunya menengok ke sini. Seperti selalu ada kesalahan yang Dee lakukan sehingga amarah dari ibunya, dikeluarkan.
“Ah! Kenapa aku selalu ingat hari itu.” tepis Dee akan pikiran yang terbesit tiap waktu itu.

Bersama Dalam Sendiri (Cerpen; Bagian 2)


Anda mungkin menyukai postingan ini

  1. Untuk menyisipkan sebuah kode gunakan <i rel="pre">code_here</i>
  2. Untuk menyisipkan sebuah quote gunakan <b rel="quote">your_qoute</b>
  3. Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image">url_image_here</i>