Bersama Dalam Sendiri (Cerpen; Bagian 2)

       Namanya Cakra, mahasiswa semester lima, selisih 4 semester di atasnya yang kebetulan kenal karena kerja yang sama di suatu toko. Dee harus bekerja keras untuk membiayai kuliahnya. Orang tuanya memang memberikan uang saku padanya namun seringkali dibanding-bandingkan dengan Dani, untuk itu ia harus berjuang juga. Kerja separuh waktu ia jalani di beberapa toko yang mau mempekerjakan dirinya hingga ia bertemu Cakra. Meski umurnya di atas Dee 2 tahun, namun Dee sudah terbiasa dengannya seperti kawan seumuran. Cakra juga yang sering menolong Dee saat sedang kesusahan, sering menghibur saat Dee sedih dan tak jarang Cakra menyemangati Dee saat Dee mulai loyo entah dalam hal kuliah ataupun menggeluti pekerjaannya. Cakra mampu membuat Dee nyaman ketika berada di sisinya, sehingga Dee menganggap Cakra sebagai kakaknya sendiri. Sosok yang telah lama pergi dari hidupnya. Cakra amat baik hati, sering menolongnya saat ia kesusahan. Apabila Dee kesusahan tentang kuliah, ia biasa menanyakannya pada Cakra. 
       “Sejatinya sendiri itu tak pernah ada, hanya orang yang benar-benar kerdil. Bagaimana mungkin ia melupakan peran mahluk lain di sekelilingnya itu, seperti langit yang selalu menenangkan bila dipandang. Cobalah lebih bersyukur atas kehidupan ini. Ya... cobalah kau pun pasti akan merasakan kenyamanan ini. Kau pasti melewatkan rasa terindah yang aku rasakan saat aku bercerita pada langit yang selalu menawan itu.” kata yang Dee ketikkan pada keyboard laptop keasayangan hasil jerih payahnya bekerja setelah lulus SMA. Dalam benda persegi miliknya itu, Dee merangkai sejuta kisah melalui tangannya lalu Dee coba kirimkan ke beberapa majalah. Meskipun masih jauh dari kata baik, Dee berfikiran, “Apa salahnya mencoba?”. 
      “Wahai malam tempat bintang bertabur. Wahai bintang yang tak pernah jemu ku pandang ku ucapkan terimakasih akan ketenangan yang kau berikan ke padaku saat orang lain belum tentu mengerti ketenangan yang ingin aku peluk dalam-dalam agar aku bisa luapkan sepuasnya rasa rinduku, tentunya kepada orang yang tiada di sisiku saat ini. Entah ia sedang di tempat berbeda ataupun ia seseorang yang telah pergi ke tempat antah berantah yang belum pernah ia ketahui warnanya.Hanya kepada langit entah siang ataupun malam aku ucapkan kata-kata rindu yang hanya kusenandungkan dalam hati terdalam.Meski diungkapkan lewat hati ia mampu menghapus sejuta pilu bahkan milyaran liter tetes air mata yang tercipta akan sebuah rindu.”Dee berhenti mengetikkan kata pada lapptopnya, matanya beralih memandang ke atas tempat beribu rindu ia gantungkan disana, di langit yang seakan tersenyum padanya. “Malam ini, oh... bukan hanya malam ini, namun setiap malam aku selalu teringat akan simbok dan bapak yang berada di tempat berbeda dengan yang Dee pijaki saat ini. Tak tertinggal pula teruntuk seseorang yang pernah berperan sebagai kakak dalam hidupku ku kirimkan nada rindu berupa lantunan ayat suci Al-Qur’an surah yasin atau Al-Waqi’ah seusai senja menyapa. Meski dengan terbata dan tangis, Dee bahagia bisa melantunkannya untukmu. Semoga apa yang selama ini terlantun akan sampai pada ruang rebahmu dan akan jadi penerang di sana. Kata orang, di sana amat gelap, tiada yang mampu menerangi selain lantunan itu. Apapun itu aku harap ini dapat berguna untuk duniamu di sana. Tidurlah yang tenang setenang saat kau terlelap disampingku dulu.” gumaman Dee dalam hati terhenti karena linangan air matanya semakin deras. 
----҉----
       Di tengah keramaian restoran malam itu, tiba-tiba terdengar seruan keras yang seakan menyihir aktivitas mereka untuk dihentikan. Seorang pelanggan terkenal restoran ternama di kota itu menunjuk seseorang dengan wajah penuh angkara. Gadis berkerudung hitam itu hanya mampu diam di tempat dengan wajah sedingin es, tangannya gemetar memegang nampan yang akan diberikan kepada pemesan makanan di meja nomor 21.
“Heii! Berhentilah kau memberikan makanan itu kepada pemesannya sebelum kejadian yang menimpa suamiku menimpa pemesan itu juga.” tuduh wanita itu sambil tak henti menunjuk marah ke arah si pramusaji.
“Ta.. tapi maaf, apa salah saya, bu?”
“Sudah berbuat kejahatan masih punya nyali juga kamu bertanya apa salah kamu?” jawab wanita itu dengan nada meninggi.
“Dee, apa yang kau lakukan?”
“Maaf pak, tapi saya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat ibu ini marah-marah.”
“Bu, maaf apakah bisa bicara masalah ini di ruangan saya saja?”
Tanpa menjawab wanita yang marah itu menuju ruang pimpinan restoran itu dan tentu tak lupa Dee membuntut takut-takut di belakangnya, karena keributan ini dituduhkan kepada dirinya.
“Maaf bu, Dee ini adalah karyawan yang jujur, pekerja keras dan tekun. Dia karyawan kebanggaan saya mana mungkin Dee melakukan hal ini kepada Ibu.”
“Baik pak, saya juga sudah meneliti kasus ini satu jam yang lalu. Begini, suami saya baru saja memakan sebuah makanan dari restoran ini dan tiba-tiba saja suami saya terkulai lemas, tanpa pikir panjang saya bawa dia ke rumah sakit namun terlambat suami saya sudah tak bernyawa lagi. Kabar yang saya terima dari dokter yang menanganinya yaitu bahwa suami saya terkena sebuah racun mematikan, dan saya tak lupa siapa pramusaji itu.” sambil menatap tajam pada Dee.
“Maaf sekali lagi bu, tapi saya tak melakukan apapun, saya hanya mengantar pesanan dan tidak tahu menahu tentang apa isinya.”
“Saya tak akan menuduh sembarangan tanpa bukti tentunya. Saya sudah menuju ke kepolisian dan mengetes sidik jari peletak racun itu dan sidik jari itu adalah kepunyaan karyawan ini.”
Wajah Dee mengeras ingin melawan perkataan yang dilontarkan namun wajahnya berubah khawatir saat melihat dua orang polisi muncul di ambang pintu.”
“Saudari Dee, kami dari kepolisian ditugaskan menangkap anda karena kasus pembunuhan atas saudara Prada Hermawan suami dari ibu tersebut.”
Perkataan yang tak terlalu panjang dan terlalu susah untuk dimengerti bagi Dee, namun mampu membuat waktu selama setahun untuk membuat Dee menerima itu. Bahkan seumur hidupnya pun tak cukup untuk mengiyakan tuduhan itu, karena memang Dee sama sekali tak melakukannya.
----҉----
       Dee terdiam meratapi kejadian di restoran tempatnya bekerja menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk membiayai kuliahnya hingga dua tahun ini, namun tak disangkanya dua tahun itu harus terhenti karena hal yang sama sekali tak ia lakukan. Tatapan Dee kosong, memandang tajam pintu jeruji besi tempat Dee bernaung sekarang. Dee harus menghabiskan lima tahun hidupnya di jeruji besi ini, hari itu pupus sudah harapan Dee untuk menjadi sarjana dan membuat kedua orang tuanya juga bapak simboknya tersenyum. Pesan singkat sudah dikirimkan Dee kepada orang tuanya mengenai hal ini. Sudah tentu kabar ini sudah sampai di telinga bapak simboknya. Yang menyakitkan bagi Dee bukan tentang hidupnya di sini, namun karena respon keluarganya mengenai musibah yang salah sasaran ini. Kedua orang tuanya tak menghiraukan keadaan Dee. Dee tidak di tengoknya, dan tak diberikan dukungan batin, bahkan tidak percaya pada alasan yang diberikan Dee bahwa Dee memang tak melakukan apapun. Selain itu, pesan dari Dee dibalas dengan usiran dan perkataan bahwa orang tuanya sangat malu atas kelakuan Dee dan menyuruh Dee tak usah kembali ke rumah seusai bebas dari hukumannya. Dee tak bisa melakukan apapun untuk menghubungi bapak dan simboknya karena mereka tak memakai peralatan seperti itu.
“Apa bapak sama simbok belum tahu ya kalau aku disini? Mengapa mereka tak kunjung ke sini?” tanya Dee hampir tiap hari pada dirinya sendiri.
       Malam masih sama dinginnya di sini dan di kosnya. Teringat kosnya entah sudah jadi apa dan bagaimana sepeninggalnya Dee yang tak perlu pamitan kepada teman seperjuangannya itu. Suara alarm di ponselnya berbunyi nyaring tepat pukul tiga dini hari. Dee ingin sekali membasuh duka wajahnya dan memasrahkan segala kehidupannya kepada penggenggam hidupnya, namun Dee merasa tak enak jika harus membangunkan penjaga sel ini. Tanpa di duga penjaga sel terbangun dan melihat Dee terbangun ia mendekati Dee.
“Ada yang bisa dibantu?”
“Pak, bolehkah saya qiyamul lail?” pintanya memelas tanpa dibuat-buat wajahnya tampak sangat layu sejak saat itu. Senyum cerianya sudah tidak dikenalnya lagi.
“Silahkan! Mari saya bukakan pintu. Tapi jangan coba-coba kabur ya.”
“Tidak akan pak, terima kasih.”
Dee segera bermunajat hingga adzan subuh berkumandang. Air matanya membasahi pipinya bahkan tak bisa Dee hentikan. Dee mulai menyanggah perkataannya bahwa sendiri itu sebenarnya tiada, namun hati kecilnya kembali bersuara tak membenarkan pikirannya barusan.
“Dalam keadaan seperti ini pun tak layak kau menyebut dirimu sendiri, Tuhan tak pernah lari darimu dimanapun kau berada ia selalu menyayangimu.”
        Dee tersadar bahwa perkataannya tak salah hanya dirinya saja yang telah lupa bahwa Tuhan selalu bersamanya, menyayanginya dan selalu memeluk kesedihannya. Karena hal ini semangat Dee mulai tumbuh lagi satu persatu. Pagi hari seakan cepat menyambut Dee, seakan ikut menyemangati gadis penuh luka itu. Saat bibirnya tak berhenti mengucap Asma Tuhan, pintu sel berderit dan tampak sang penjaga memanggilnya karena ada yang ingin bertemu. Hati Dee seakan ditumbuhi ratusan bunga warna warni dengan langkah bersemangat Dee mengikuti sang penjaga berharap bapak dan simboknya yang datang. Sudah hampir sepuluh tahun ini Dee berdiam disini dan berharap dapat melihat bapak dan simboknya.
“Kak Cakra…..?”
Dee sangat terkejut oleh seseorang yang ada di depannya. Dee hanya bisa terdiam menitikkan air mata. Dee tak tau mengapa ia menangis, padahal benteng hatinya untuk bersabar sudah sangat kuat sejak semalam.
“Dee… maafkan aku karena tak lekas menjengukmu dan baru menjengukmu setelah hukumanmu hampir habis. Hari itu, saat kau ditangkap, aku tak mengetahui hal itu. Aku berada di tanah rantau menjalani pekerjaan yang aku geluti. Setelah wisuda itu, aku memperoleh pekerjaan sebagai guru di sebuah daerah yang jauh dari sini. Di sana tempatnya terpencil tidak ada sinyal karena itu aku tak bisa mengabarimu dan tahu kabarmu. Aku dipindahtugaskan di kota ini sekitar satu bulan yang lalu. Aku mencari teman-temanmu, mencari tahu tentangmu, dan akhirnya aku tahu ini menimpamu. Ibu kos sangat percaya padamu dan merawat barang-barangmu hingga kau kembali. Sekarang barang itu ada di rumahku.”
Dee hanya mampu menatap seseorang yang menggantikan peran sosok kakak yang telah pergi dengan tatapan penuh rindu. Mulutnya seakan terbungkam. Air matanya tak dapat disembunyikan lagi mengalir sejak Cakra memanggil namanya. Detik berikutnya terlalui dengan diam dan hanya saling tatap antara Dee dan Cakra. Hingga sang penjaga mengingatkan waktunya Cakra untuk pulang.

Bersama Dalam Sendiri (Cerpen; Bagian 3)




Anda mungkin menyukai postingan ini

  1. Untuk menyisipkan sebuah kode gunakan <i rel="pre">code_here</i>
  2. Untuk menyisipkan sebuah quote gunakan <b rel="quote">your_qoute</b>
  3. Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image">url_image_here</i>