Islam dan Iptek -Makalah-


source: https://www.economist.com

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
      Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat Al-Baqarah (2) 31 dan 32:
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ﴿٣١﴾قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ﴿٣٢
Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat seraya berfirman, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar (menurut dugaanmu).' Mereka (para malaikat) menjawab, 'Mahasuci Engkau tiada pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana'."
      Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan.
      Dunia muslim kurang memiliki kapasitas untuk menghasilkan Iptek, dan gagal melakukan difusi Iptek. Terdapat kepincangan sangat mencolok dalam bidang pendidikan. Di seluruh 57 negara anggota OKI hanya ada sekitar 500 universitas; sedangkan India ada 8.407 dan AS memiliki 5.758 universitas. Tidak ada universitas di dunia muslim yang masuk 500 universitas terbaik ‘Academic Ranking of World Universities’ versi Shanghai Jiao Tong. Hasilnya, hanya ada 230 ilmuwan per satu juta muslim; sedangkan AS 4.000-an dan Jepang 5.000-an.[1]


B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini setidak-tidaknya dapat menjawab pertanyaan berikut ini.
1. Apa yang dinamakan Iptek?
2. Apa pandangan Islam terhadap Iptek?
3. Apa permasalahan yang terjadi antara Islam dengan Iptek?
4. Apa saja langkah yang harus ditempuh untuk memajukan Iptek dalam Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IPTEK
      Iptek singkatan dari Ilmu Pengetahuan Teknologi. Berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni telah banyak diberikan oleh para filsof, ilmuwan dan budayawan sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dan ilmu sangat berbeda maknanya. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, disistematisasi, dan diinterpretasikan sehingga menghasilkan kebenaran obyektif serta sudah diuji kebenarannya secara ilmiah, sedangkan pengetahuan adalah apa saja yang diketahui manusia atau segala sesuatu yang diperoleh manusia baik melalui panca indra, intuisi, pengalaman, maupun firasat.[2]
      Jadi, ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai kumpulan rasionalisasi kolektif insani atau sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains memiliki tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral, dan bebas nilai. Sedangkan dalam pemikiran Islam, sains tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal.[3]
Sains islami dapat dikategorikan kepada 4 kelompok disiplin ilmu berikut ini.
1. Ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi yang melengkapi orang per orang untuk melaksanakan ibadah ritual kepada Tuhan (sebagai pertanggungjawaban pribadi).
2. Ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi yang membentuk kapasitas optimal seseorang sebagai individu yang kompetitif: fii ahsani ‘t-taqwim (pengembangan sumber daya manusia).
3. Ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi yang membentuk kehidupan budaya dan peradaban masyarakat manusia yang lebih baik (epistemologi sains baru).
4. Ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi yang membantu penemuan, perkembangan, dan pemeliharaan baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam (sains terapan baru).


B. OBJEK KAJIAN IPTEK
      Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri. Wahyu, ilham, intuisi, dan firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya, atau apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran tersebut.[4]
      Secara garis besar objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan alam non-materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam materi. Karena itu. objek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas, dan pengalihan antarbudaya.[5]
       Objek ilmu menurut ilmuwan Muslim mencakup alam materi dan non-materi. Karena itu, sebagai ilmuwan Muslim (khususnya kaum sufi melalui ayat-ayat Al-Quran) memerkenalkan ilmu yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah: (l) alam nasut (alam materi), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam jabarut (alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan (5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).[6] Dari pembahasan tersebut, maka objek Iptek mencakup alam materi.

C. PANDANGAN ISLAM TERHADAP IPTEK
Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.

اِقْرَأ بِا سْمِ رَبِّكَ الَّذيْ خَلَقَ﴿١﴾ خَلَقَ الأِ نْسَا نَ مِنْ عَلَقْ﴿٢﴾ إِقْرَأْ وَ رُبُّكَ الأَكْرَامُ﴿٣﴾ ا لّذْ ي عَلَّم بِا لْقَلَمْ﴿٤﴾ عَلَمَ الاِ نْسَا نَ مَا لَمْ يَعْلَمْ﴿٥

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.“(QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
      Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[7]
      Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan hanya menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah). Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt.[8]
      Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (aquired knowledge), tingkat kebenaran nisbi (relative), oleh karenanya tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk melakukan kajian ulang atau perbaikan kembali.[9]
      Teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan dan kenyamanan manusia. Dengan demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan bukanlah teknologi, tetapi merupakan hasil dari teknologi. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan netral, tetapi dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan, dan pendayagunaan Iptek harus senantiasa berada dalam jalur nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan.[10]
      Iptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh Islam manakala bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil Iptek akan melalaikan seseorang dari dzikir dan tafakkur, serta mengantarkan kepada rusaknya nilai-nilai kemanusiaan, maka bukan hasil teknologinya yang ditolak melainkan manusianya yang harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan teknologi. Dan apabila Iptek sejak semula diduga dapat menggeserkan manusia dari jati diri dan tujuan penciptaan, maka sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam.[11]
      Dalam konteks abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah yang memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta dirinya akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan sang pencipta kepadanya. Dengan hilangnya rasa syukur, mengakibatkan manusia menghamba kepada selain Allah, termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk kepada dirinya.[12]
      Sebagai khalifah (wakil Allah) di muka bumi, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya tempat mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksploitasi, menggali sumber-sumber alam, serta memanfaatkannya dengan sebesar-besarnya untuk kemanfaatan umat manusia, asalkan tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas. Karena pada dasarnya, alam beserta isinya ini diciptakan oleh Allah untuk kehidupan dan kemaslahatan manusia. Untuk menggali potensi alam dan pemanfaatannya diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup (para ilmuwan atau para cendikiawan) yang sanggup menggali dan memberdayakan sumber-sumber alam ini. Akan tetapi, para ilmuwan juga harus sadar bahwa potensi sumber daya alam ini terbatas dan akan habis terkuras apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh karena itu, tanggung jawab memakmurkan, melestarikan, memberdayakan, dan menjaga keseimbangan alam semesta banyak bertumpu pada para ilmuwan dan cendikiawan. Mereka memiliki amanat atau tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan.
      Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. 'Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata 'alam (bendera), 'ulmat (bibir sumbing), 'a'lam (gunung-gunung), 'alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan 'arafa (mengetahui)' a'rif (yang mengetahui), dan ma'rifah (pengetahuan).[13]
      Allah Swt. tidak dinamakan a'rif' tetapi 'alim, yang berkata kerja ya'lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran menggunakan kata itu --untuk Allah-- dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan kepada Allah: ya'lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan), ya'lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa (apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan), ma fi anfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khainat al-'ayun wa ma tukhfiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga 'ilm yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.[14]

D. PERMASALAHAN YANG TERJADI ANTARA ISLAM DENGAN IPTEK
      Memang, pendidikan di dunia muslim jauh tertinggal. Sebagian besar karena keadaan ekonomi dan keuangan yang tidak memadai, sehingga gagal menyediakan pendidikan berkualitas sejak tingkat dasar sampai tinggi. Sedangkan beberapa negara muslim kaya penghasil minyak tidak memprioritaskan pendidikan; banyak dana dihamburkan untuk anggaran pertahanan dan proyek mercusuar seperti gedung tertinggi di dunia.[15]
      Indonesia dengan penduduk muslim terbanyak di dunia masih berkutat dengan usaha peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan. Meskipun 20 persen anggaran pusat dan daerah sudah siabdikan untuk pendidikan, sebagian besar pendidikan masih bermutu rendah. Sementara itu, sekolah dan universitas bermutu semakin sulit terjangkau karena biaya semakin mahal. Jika Indonesia ingin merebut posisi terdepan dalam pendidikan di dunia muslim, pembenahan pendidikan harus benar-benar menjadi prioritas pokok.[16]
      Akan tetapi, ketidakberdayaan muslim tidak hanya terutama bersumber dari keterbelakangan pendidikan. Ketidakberdayaan itu juga terkait dengan berbagai realitas lain dunia Islam, terutama bidang politik, sosial, budaya, dan bahkan pemahaman keagamaan. Karenanya, usaha mengatasi ketidakberdayaan kaum muslimin harus juga melibatkan pembenahan dan perbaikan keadaan sehingga dapat memberikan kondisi kondusif bagi pemberdayaan dan pemajuan kaum muslimin dalam berbagai bidang.[17]
      Menyangkut akselerasi pendidikan dan pengembangan Iptek, adalah keniscayaan bagi kaum muslimin mengembangkan keterbukaan pada sumber Iptek dari manapun. Ini berarti meniscayakan pula penghilangan sikap apologetik, defensif, dan reaktif dari sebagian muslim yang masih sangat mencurigai segala macam Iptek yang bersumber, misalnya, dari Barat. Kalangan muslim seperti ini seolah melupakan sejarah kemajuan Iptek di tangan ilmuwan muslim di masa klasik yang bersumber dari sikap keterbukaan menerima dan mengkaji berbagai sumber Iptek untuk kemudian mereka kembangkan menjadi Iptek universal yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan kemanusiaan. Dalam kaitan itu, kaum muslim patut mengembalikan rasa percaya diri. Karena sering ada kecurigaan berlebih bersumber dari kekhawatiran dan ketakutan berlebihan, akhirnya menimbulkan mentalitas tertututp dan bahkan ‘mentalitas terkepung’.[18]

E. LANGKAH MEMAJUKAN IPTEK YANG DITEMPUH ISLAM
      Untuk mewujudkan kehadiran upaya dibangunnya Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI), disarankan agar langkah-langkah sebagai berikut dilakukan.
1. Melakukan kerjasama antara ilmuwan dan ulama.
2. Melaksanakan upaya tersebut. Para ulama seyogyanya memiliki ilmu pengetahuan dan sains yang cukup, begitu pula halnya para ilmuwan seyogyanya menguasai pengetahuan yang cukup tentang agama Islam.
3. Penguasaan sains hendaknya diorientasikan pada:
a. Struktur, organisasi, dan sistem;
b. Konsep yang utuh;
c. Filsafat dan metode ilmu (sains).
4. Studi Al-Qur’an dan As-Sunnah hendaknya dipusatkan pada keterhubungannya dengan disiplin ilmu tertentu, baik secara positif mengesahkan atau secara negatif menyangkal konsep sains dan teknologi tertentu.[19]


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
      Ilmu pengetahuan dan teknologi bagi umat Islam justru jika dipahami benar-benar akan menambah teguhnya iman serta merupakan rahmat Allah yang tak terbilang nilainya. Hanya orang-orang yang belum sampai kajiannya sajalah yang masih meragukan dan mencurigai kemajuan ilmu, sehingga tanpa sadar mereka telah menjauhkan diri dari kemajuan ilmu pengetahuan. Islam murni, yang digali dan dipahamkan langsung dari ayat-ayat Al-Qur’an, justru membuka pintu, bahkan menantang kemajuan ilmu pengetahuan dan akal manusia dengan memersilakan setiap orang untuk menemukan secuil cacat, jika bisa ditemukan di dalam kalam Allah ini.
      Secara garis besar objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan alam non-materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam materi.

B. SARAN
Makalah tentang Iptek ini masih belum detail membahas tentang topik yang dibicarakan. Untuk itu, kami harapkan untuk para pembaca juga mencari referensi lain tentang topik yang dibicarakan tersebut. Dan semoga dengan referensi lain itu, dapat memberikan kefahaman yang lebih.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Zindani, Abdul Majid bin Aziz, dkk.. 1996. MUKJIZAT Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang IPTEK. Jakarta: Gema Insani Press
Az-Zahra, Ayda. 2013. Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam. PISS-KTB Group.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan
Wahyuddin, dkk. 2009. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Grasindo





[1] Ayda Az-Zahra, dkk., Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (PISS-KTB Group, 2013), hlm. 1265.
[2] Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 82.
[3] Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 82.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 426.
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 429.
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 429.
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 425.
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 425-426.
[9] Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 82.
[10] Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 83.
[11] Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 83.
[12] Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 86.
[13] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 426-427.
[14] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 427.
[15] Ayda Az-Zahra, dkk., Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (PISS-KTB Group, 2013), hlm. 1265.
[16] Ayda Az-Zahra, dkk., Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (PISS-KTB Group, 2013), hlm. 1265.
[17] Ayda Az-Zahra, dkk., Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (PISS-KTB Group, 2013), hlm. 1266.
[18] Ayda Az-Zahra, dkk., Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (PISS-KTB Group, 2013), hlm. 1266.
[19] Al-Zindani, Abdul Majid bin Aziz, dkk., MUKJIZAT Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang IPTEK (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 80.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  1. Untuk menyisipkan sebuah kode gunakan <i rel="pre">code_here</i>
  2. Untuk menyisipkan sebuah quote gunakan <b rel="quote">your_qoute</b>
  3. Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image">url_image_here</i>